16
Mar
10

Bloody March!!!!!

Disela-sela tugas di kantor dan kuliah yang sangat menguras space waktu luang, saya tetap meluangkan ‘sedikit’ waktu buat ngegame. Hahahaha, mari kita mengacu pada Om enstein bahwa waktu adalah relatif, maka saya tidak akan mengatakan berapa tepatnya waktu yang saya habiskan untuk ngegame dalam satu hari atau seminggu. Katakanlah, jauh berkurang dibanding yang dulu.

Sekarang saya lebih fokus ke kuliah. Mulai meminjam & membeli buku (walaupun kadang cuma dibaca sebentar karena, sumpah — ternyata buku adalah obat ngantuk paling manjur — hehehe), daftar les ini-itu,dan (mulai) fokus lagi ke pekerjaan kantor yang sudah banyak menumpuk.

Baiklah, eh, begitulah maksud saya.

Oh iya, ada yang spesial di bulan ini (kalo nggak mada yang spesial ngapain juga saya nulis ginian….). Ketika februari kemarin orang2 pada membahas tentang cinta, maka maret yang seharusnya bulan musik & film nasional ini, saya dibombardir berbagai hal bertema gore.

Menurut wikipedia, kata Gore berarti ‘Scene kekerasan dalam gambar yang relistis dan menggambarkan luka fisik yang menampilkan darah, daging, tulang, dan otak manusia secara eksplisit.’

Well, itulah yang saya dapatkan bulan ini. Mulai dari nonton ‘Friday the 13th‘, direkomendasikan buat download ‘Haute Tension’ (dan akhirnya ikut menonton), beli novel ‘Fight Club’, pinjam buku ‘Kumpulan Budak Setan’, dan akhirnya:

Jeng-jeng-jeng-jeng!

->Menginstal ‘Man Hunt 2’!!!!!!!  (setelah saya kesal dengan ‘Gears of War’ yang penuh bug….)

Blood, blood, blood. Plenty of blood….


It’s, Bloody march…. HAHAHAHAHAHAHAHA!!!!! 😀

12
Feb
10

Dibalik Jendela Pagi

Ada akhir di suatu awal.
Ada awal di dalam akhir.

Hari ini, akan kubuktikan kebenaran dua kalimat itu.

Fajar baru saja mengintip dari ufuk timur. Manusia-manusia itu pasti masih saja bergelut dengan sisa mimpi, sisa kemarahan, kesedihan, kesenangan, ataupun dengan sisa sperma selingkuhan masing-masing.Mereka tidur.

Dan aku? Aku sedang meluncur dengan kecepatan entah berapa kilometer per jam. Rambut panjang yang sedari dulu kubanggakan ini pun tertarik lurus kebelakang, dan melambai-lambai pada ujungnya. Tubuhku yang dari kemarin terbungkus setelan blazer hitam yang sama, kaku dan tegak lurus. Memang kurang nyaman, tapi aku sadar bila ku ubah sedikit saja posisinya, maka itu akan mengacaukan lintasan luncur yang telah ku rencanakan.

Tau kemana aku meluncur?
Aku sedang meluncur kepusat grafitasi bumi.

Tau bagaimana posisiku?
Kepalaku ada dibawah.

Tau darimana aku melompat?
Dari lantai 14.

Salah kalau ruang dan waktu selamanya akan berada dalam satu kesatuan. Karena saat ini, perjalananku dari lantai 14 menuju permukaan aspal di daerah urban ini, terasa seperti slow motion. Semua yang aku lewati, lantai-lantai berdinding kaca itu, dapat aku hitung dengan santai. Bukan hanya sampai disitu, bahkan aku dapat melihat isi tiap-tiap ruangan dengan jelas. Kursi-kursi yang tertata rapi di depan komputer, berkas-berkas yang berserakan tertumpuk diatas meja masing-masing, lampu penerangan yang belum dimatikan, Dan beberapa tenaga cleaning service yang bekerja dengan rajinnya untuk mengejar setoran di pagi buta ini.

Semua pemandangan itu terjadi begitu cepat sekaligus lambat. Hingga seakan-akan ruang dan waktu berpisah dan tidak saling mempengaruhi. Dan kondisi tersebut terus berlangsung sampai aku melihat seorang laki-laki ber-sweeter hitam polos dibalik kaca jendela.

Laki-laki itu menatapku.

Di lantai berikutnya, laki-laki itu kembali hadir. Dibalik jendela, di tempat yang sama, pose yang sama, dan pakaian yang sama.

Lantai berikutnya, dia melangkah maju menuju jendela. satu langkah.

Lantai berikutnya, dia maju selangkah lagi.

Satu langkah,

Satu langkah,

Satu langkah,

Satu langkah tiap lantai.

Dan ketika laki-laki itu merapat di jendela, mulutnya bergerak, “kau sedang apa?”

Anehnya, keberadaan laki-laki itu tidak membuat diriku. Justru sebaliknya, perasaan nyaman mulai menjalar dari dalam dada.

“Aku sedang terjun.” Jawabku dengan datar.
“Kau bunuh diri?”
“Ya, seperti itulah. Kau siapa?”
“Aku? aku hanyalah seorang perantara.” Dia berhenti sebentar, ” Perantara yang akan mengantarkan mu kepada Nya”

Lantai itu terlewati. Di lantai dibawahnya, laki-laki itu memasukkan tangan kirinya ke saku celana, dan menempelkan telapak tangan kanannya ke jendela.

“Jadi kau malaikat maut?”

Laki-laki itu tersenyum, “Banyak yang menyebutku demikian. Tapi aku sendiri lebih nyaman dengan sebutan Tuan Perantara.”

“Oh…” Aku sedikit kaget. Bukan karena kemunculannya. Tapi lebih ke pembawaan diri Sang Perantara ini.

Di lantai berikutnya, orang ini duduk di kursi dengan koran yang terbuka dihadapannya. Bola matanya bergerak dari kiri ke kanan,terlihat serius membaca artikel di koran itu. Sejurus kemudian, dia sedikit mengangkat wajahnya ke arahku. “Jadi, kenapa kau sampai memutuskan untuk terjun dari kantormu sendiri di pagi buta begini, Siska? Oh, dan jangan tanya kenapa aku tahu namamu. Jawab saja” Kini pandangannya menajam,“yah, sekedar menghabiskan waktu, daripada aku harus menunggui dirimu bengong sampai menjadi bubur merah di permukaan aspal nanti”

Aku menghela nafas. Tak pernah terpikirkan olehku untuk berbincang-bincang dengan malaikat penjemput nyawa. Apalagi disaat aku melakukan bunuh diri. Namun tentunya semua itu kini tak penting lagi. Karena toh, sebentar lagi aku akan mati. Jadi, kuputuskan untuk menceritakannya saja, “Kau tahu? Melihat suami tidur dengan anak gadisnya sendiri bukanlah pemandangan yang bisa kau temui setiap hari.”

Dilantai berikut, laki-laki itu berdiri membelakangiku, sibuk menyalakan sebuah proyektor. Setelah proyektor berhasil dinyalahkan, di layar muncul gambaran persis tentang apa yang baru saja dialami dirinya beberapa jam yang lalu. Seakan-akan gambaran itu direkam langsung dari dalam mataku. Atau mungkin begitulah adanya.

Mencoba tak terganggu dengan pemandangan itu, aku melanjutkan cerita. “Aku memang bukanlah sosok ibu yang baik. Setiap hari hanya ku habiskan dengan duduk didepan komputer, menyelesaikan segala administrasi perusahaan.Keluarga terbengkalai. Aku tidak tahu dengan siapa anakku bergaul, bagaimana anakku di sekolah….”

Dan emosi ku mulai mencuat.

“Tapi semua itu kulakukan untuk keluarga, bangsat! Suami ku sudah lama tidak bekerja semenjak ia mengalami kecelakaan sialan itu…..yang menyebabkan satu kakinya lumpuh….” Air mata ku mengalir, kemudian pecah, bergabung dengan partikel udara di sekitarnya. “Dan bagaimana perasaanmu ketika….. ketika kau sudah habis-habisan mencari uang, kemudian menemukan anak kandung kalian…. ANAK KANDUNG MU TIDUR DENGAN SUAMI MU SENDIRI…. padahal dia darah dagingnya sendiri…..”

Bagaimana perasaanmu?

He? Bagaimana perasaanmu perantara?

Namun laki-laki itu tidak menjawab. Dengan serius dia memperhatikan visualisasi di layar proyektor. Di situ tergambar debngan gamblang bagaimana aku membuka pintu kamar suamiku, dan menemukan dua orang itu saling bergelut tanpa busana. Bagaimana ekspresi kekagetan si suami dan si anak, perasaan marah yang amat yang tak terjelaskan dengan kata-kata. Semua terlihat jelas.

Baru di lantai berikutnya, laki-laki itu menjawab, “Jadi karena kemarahan dan rasa kegagalan mu sebagai ibu-lah yang menyebabkan engkau, saat itu juga kembali ke kantor dan melakukan ini?”

Aku tidak menjawab. Kata-kata tidak akan bisa menjawab pertanyannya. Justru aku yang balik bertanya, “Jadi kamu mau apa? Menjebloskan aku ke Neraka?”

“Oh, tidak. Itu bukan urusanku. Urusanku hanyalah mengantarkanmu ke dunia berikut.”

————

Selama beberapa lantai kami tidak berbicara. Kami hanya saling menatap. Dan selama itu pula, aku sudah bisa menghitung sisa-sisa lantai yang harus ku tempuh sebelum akhirnya aku menempel di aspal.

Lantai lima,
Kami masih berdiam. Berbagai pikiran dan emosi berkecamuk di dalam sadar.

Lantai empat,
Laki-laki itu berjalan menjauh, “Baiklah. Setidaknya terimakasih telah membagi cerita denganku. Tidak setiap orang seperti dirimu.”

Lantai tiga,
“Jadi…hanya begitu saja?”

Lantai dua,
Dia membuka kenop pintu ruangan, “Iya. Titik. yang akan terjadi selanjutnya bukanlah urusanku. Selamat tinggal.” lalu ia keluar. Namun sebelum menutup pintu kembali, keplanya menyembul dengan sesungging senyuman,“Tolong jangan diambil hati ya. Aku ini hanya menjalan kan tugas kok.”

…dan pintu itupun tertutup rapat.

Lantai satu,
Aku hanya mengangguk.

Lalu tersenyum, entah atas dasar apa.

December 5th, 2008
12
Feb
10

Dibalik Jendela Sore

Perasaanku mengatakan kalau sore ini akan berjalan seperti sore-sore yang lain. Karena toh, tidak ada yang istimewa di sore ini. Beberapa orang yang sepulang kerja lewat di depan rumah masih menyisakan senyum mereka untuk kekasih hati mereka di rumah. Matahari masih berkejaran dengan sobekan-sobekan awan, untuk menunjukkan siapa yang lebih dulu tenggelam di ufuk sebelah barat. Tak ketinggalan juga semilir angin sepoi yang menggugurkan dedaunan pohon di halaman rumah. Semua masih terlihat normal dibalik jendela lantai dua kamarku.

Begitu damai dan nyaman.

Di dalam rumah pun terjadi hal yang serupa. Semuanya berjalan dengan normal. Suara teriakan  dari basement masih terdengar jelas walaupun dari tempatku berada. Dan itu berarti dua hal: Satu, Ayahku masih sehat dan normal. Dua, Ibu, dengan kesabaran nya yang luar biasa masih tulus mengikuti ritual ‘pendisiplinan’ dari ayah.

Aku sendiri tak tahu apa yang dilakukan ayahku di sana, karena aku tidak memiliki akses menuju basement. Ayah sudah berulang kali melarangku dengan cerita-cerita hantu di tempat itu. Sebenarnya akupun tahu kalau itu adalah cerita rekaan ayah untuk menutupi perbuatannya… tapi rasanya itu sudah cukup untuk membuatku tidak mendekati pintu basement. Tapi yang jelas, seperti yangayah bilang padaku, kalau ini semua dilakukan agar ibu menjadi satu sosok yang disiplin. Satu kata yang sangat disukai oleh ayah.

Dan di saat seperti ini, biasanya aku hanya berdiam diri, dan melakukan apa yang biasanya dilakukan anak umur 14 tahun lainnya. Yakni meringkuk pasrah di pojok kamar sembari menutup telinga dengan kedua tangan.

Nyaman, hangat, dan aman.

Kemudian, ketika teriakan ibu makin jelas terdengar, biasanya Suster Lily, pengasuh adik ku yang masih balita datang ke kamarku. Dan benar saja, beberapa detik setelah teriakan dibawah berubah dari teriakan kesakitan menjadi (lebih mirip) lolongan hewan, Suster Lily datang.

Dengan lembut dan hampir tak bersuara suster Lily membuka dan menutup pintu. dan dengan gerakan yang sama dirinya bersimpuh di depan lelaki yang sedang ketakutan ini. selama beberapa saat mata kami beradu. dengan jelas muka cantik itu terlihat olehku. Benar-benar tanpa cacat. Namun bukan itu yang menarik perhatianku. Melainkan pandangan matanya. Terdapat sesuatu di dalam pandangan matanya. Sebuah pendangan yang belum pernah aku temui. Bahkan dari Ibuku sendiri. Terasa ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

Padaku. Bukan orang lain.

Kemudian, sekonyong-konyong, suster Lily memeluk ku dengan erat. Meredam tubuhku yang gemetaran.

Terasa lebih hangat, lebih nyaman, dan lebih aman.

Aku pun membalas pelukannya  dengan memeluknya lebih erat lagi.

Disela-sela  lolongan Ibu dan hangatnya pelukan Suster Lily, aku merasakan bahwa  sore ini berjalan seperti sore-sore dihari yang lain.

November 22nd, 2008

12
Feb
10

Eternal Memory

Angin berhembus perlahan, menerpa wajahku yang sayu. Menerbangkan setiap helai rambutku. Deburan ombak yang ramai dan kesunyian yang senyap menyatu, membentuk satu simfoni pantai di bawah sinar bulan purnama. Persis beberapa tahun yang lalu, berapa tahun? Ah,aku sudah lupa. Terlalu banyak hal yang terjadi setelah itu. Toh itu tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di hari itu.

Aku ingat, rud. Aku ingat. Aku ingat sampai ke detailnya. Apa yang kamu ucapkan, baju yang kamu pakai, aroma tubuhmu, bahkan cara pandang dan nada bicaramu pun aku masih ingat hingga sekarang.Aku ingat, rud. Aku ingat, saat itu pukul sebelas malam. Saat dimana tak ada orang lagi di pantai ini. Dimana sinar purnama menyinari garis horison pantai nun jauh disana.Waktu bagi para manusia untuk terlelap dalam buaian mimpi indah mereka. Tapi kita berbeda. Iya kan, rud?

Seingatku, saat itu kita tengah berburu foto untuk salah satu tugas kita…ah, lagi-lagi aku lupa tugas apa itu.

Hahaha… aku selalu tertawa kalau mengingat masa masa itu. Kita ambil apa saja yang menurutmu menarik. Jepret sana jepret sini. Kita berdua persis kayak orang kesetanan dikejar deadline.Di sela-sela perburuan itu kita masih sempat tertawa. Kita berdua…aku dan kamu…Rudi dan Luna…

“Luna, kalo kamu ngantuk, istirahat dulu, biar aku yang ambil fotonya.” Begitu katamu padaku setiap menit.
Dan aku selalu menjawab kata-katamu itu dengan sebuah senyuman. “Ayolah rud, kau sudah kenal seperti apa aku ini. Aku bukanlah tipe orang yang gampang menyerah.” Jawabku dalam hati.

Dan buktinya, aku berhasil berburu gambar denganmu hingga matahari terbit. Kakiku rasanya mau copot, harus berjalan sepanjang malam. Dan seperti yang aku duga, kau membimbingku dan mengatakan padaku dengan lembut, “Kan sudah aku bilang, kalo kamu capek istirahat dulu di pondok.”.

Apakah itu karena kamu (terlalu) perhatian padaku atau kamu hanyalah tipikal cowok yang cerewet, aku tidak tahu.

Seingatku, kita bukanlah sepasang kekasih. Bukan pula sahabat dekat. Kita hanyalah dua orang dari tempat yang berbeda, yang…ah, aku ingat sekarang! Saat itu kita sedang mendapat tugas untuk mengambil gambar bayi-bayi penyu yang sedang menetas.

“Hai cantik, boleh aku tahu namamu? Perkenalkan, namaku Rudi. Aku dating dari…” bla-bla-bla.
Apa kau tahu Rud, kalau pada saat itu juga, aku mulai menyukaimu. Padahal kamu bukan orang yang ganteng, juga nggak pinter-pinter amat. Kamu bukanlah tipe pria yang aku inginkan. Entahlah Rud,yang pasti, aku menyukaimu tanpa sebab. Dan mulai saat itulah kita berdua menjadi dua orang yang mencoba untuk saling mengerti, memahami,dan saling jaga. Semuanya berjalan dengan alami, sampai hal itu terjadi.

Matahari sudah menampakkan wujudnya. Menyinari wajahmu yang kusut karena belum tidur semalaman. Tapi aku tahu, dibalik wajahmu yang kusut itu, tersimpan perasaan puas karena telah mengumpulkan banyak foto.
Dan saat itulah…
Saat kau berjalan di depanku,
Saat kau menuju kearah mobilmu,
Saat kau ingin meninggalkan pantai ini,
Saat kau ingin meninggalkan diriku,
Saat itulah sekonyong konyong tanganku menahan jemarimu, memaksamu unuk berhenti sejenak.

“Luna, aku…maksudku, aku sangat senang sekali dapat berjumpa denganmu. Aku tak akan dapat melupakan perjumpaan kita yang sejenak ini. ” Katamu seraya memandangi cincin kawin di jari manismu.
Tapi aku tak ambil pusing dengan itu. Karena aku menyukaimu.
Tulus.

“Kapan kita dapat bertemu lagi?” Tanyaku padamu. Lalu dengan tersenyum, kau menjawab pertanyaanku. Tapi… aahhh… lagi-lagi memoriku error. Aku tidak dapat lagi mengingat apa yang kau katakan saat itu.

———

Angin berhembus perlahan, menerpa wajahku yang sayu. Menerbangkan setiap helai rambutku. Deburan ombak yang ramai dan kesunyian yang senyap menyatu, membentuk satu simfoni pantai di bawah sinar bulan purnama. Persis beberapa tahun yang lalu.

Di sini, tempat kita berdua pernah memotret penyu penyu itu, aku menunggu dirimu. Setiap hari, Setiap waktu, Setiap saat. Dan hari ini, aku melihat seorang kakek berjalan menyusuri garis pantai. Ditangan nya tergenggam seikat bunga. Dibawah sinar bulan purnama, aku melihat wajah yang sayu, sama spertiku. Orang ini terus berjlan sampai di samping gubug tua. Dia berjongkok dekat situ, lalu bergumam dengan lirih, tapi aku masih dapat mendengarnya,

“Terima kasih kamu sudah menungguku selama ini. Maafkan aku yang lupa akan janjiku. Kupikir aku adalah jenis laki-laki yang tak akan lama diingat orang. Tapi kau begitu sabar menungguku. Aku juga sudah mendengar kabar tentang seorang nenek yang terseret ombak. Dan saat aku tahu kalau itu kau, aku segera datang ke tempat ini. Dan karena jasadmu yang belum ditemukan, kupikir aku akan meletakkan bunga ini disini. Ditempat yang sama saat kita pertama kali bertemu. Terimakasih luna, terima kasih.” Lalu kakek itu berkomat-kamit membaca doa untukku.

Tak usah berterimakasih padaku, Rud. Aku menunggumu sebab aku suka. Kau tidak perlu susah-susah membalas rasa ‘’suka’’ ku padamu. Karena aku menyukaimu.

Tulus.

12
Feb
10

Sutardi

Pagi itu, Sutardi membuka matanya dengan perasaan tidak nyaman. Bukan karena sajadah yang ia tiduri berbau apek, atau posisi tidurnya yang ‘njingkrung’. Sutardi memang sudah merasa tidak nyaman semenjak ia bangun tadi pagi, sebelum sholat subuh, sebelum ambil air wudlu. Hari ini negaranya mengadakan ‘gawe’. Yakni sebuah voting suara untuk mencari sosok pemimpin yang baik. Sutardi jadi teringat Orang-orang ber jas dan berdasi yang sering nongol di TV itu. Mereka menyebutnya ‘Pesta Demokrasi’.

Tapi hal itu tidak berlaku bagi Sutardi. Di dalam kamus hidupnya tidak tercantum kata itu. Baginya, hari ini adalah hari dimana dia memilih salah satu nama dan gambar beberapa lembar kertas. itu saja, titik. Apakah kertas itu nantinya akan sampai pada orang-orang pintar itu atau hanya akan sampai ditengah jalan, ia tidak tahu. atau lebih tepatnya, tidak peduli.

Ia ingat kemarin, saat dirinya bertanya pada simbok nya, siapakah yang akan ia pilih. Lalu dengan santai Ibunya menjawab, “Ealah… mbok ya nggak usah ngoyo. Inget dulu waktu pak Kades mencalonkan diri jadi… apa itu namanya? Caleg ya? Dia dulu janji macem macem. Katanya nanti akan ada bantuan banyak buat orang miskin. Lha sekarang? Raskin aja diembat! Sudahlah Di. Kamu itu ngibadah saja yang bener. Berdoa sama gusti Allah. Biar cepet dapet kerjaan. Jangan mau kalah sama Maryono. Dia itu habis lulus STM langsung kerja!”

Sambil kedap-kedip Sutardi mencerna kata-kata simbok. Benar juga. Intinya, apapun yang dia pilih, hidupnya tidak akan lebih baik dari ini. Dan janji janji itu? Ah, anget anget tai kucing. nanti kalau sudah kepilih pasti pada lupa.

Baru sekejap ia berpendapat seperti itu, pikirannya langsung melayang ke beberapa hari yang lalu. Mas Bayu, satu satunya tetangga nya yang mengenyam bangku kuliah, punya pendapat lain. Ia ingat, saat itu mereka tengah ngobrol di pinggir lapangan, melihat anak-anak kecil bermain bola.

“Dik Tardi, kamu jangan pesimis gitu dong. Proses pemilihan ini penting lho. setiap suara dari kita akan ikut menentukan siapa yang akhirnya siapa yang jadi pemimpin kita. Pilih orang orang yang bener. Soalnya, kalau yang terpilih itu orang orang yang salah, ya… tamatlah kita”

Kemudian Mas Bayu menegadah, memandang ke langit. Sutardi juga ikut menengadah. Ia penasaran apa yang dilihat Mas bayu kala itu. Tapi tak ada yang ditangkap mata nya selain sobekan awan tipis yang bergerak pelan. “Kita ini adalah Negara.” Mas bayu melanjutkan,”Kalau bapak-bapak itu mati, ya kita ini penerusnya. Nah, kalau dari sekarang saja kita sudah apatis, lalu mau jadi apa Negara ini?”

Pilih yang bener? Tamat? Kini Sutardi kembali keatas sajadah apek nya.

Bukankah setiap orang pasti memilih ‘yang bener’? Terus, bukankah hasilnya juga sama saja? Sama tidak berubah nya. Sama miskinnya. Sama tamatnya seperti sebelum memilih? Lalu apa salahnya kalau sekarang dirinya jadi apatis? Toh semuaya sama saja.

Sutardi mengubah posisi njingkrungnya. Bunyi gemelatuk ringan terdengar basah dari punggungnya. Tapi ia segera menyadari kalau Mas Bayu adalah mahasiswa. Kata orang, yang jadi mahasiswa itu pasti orang pintar. Dari kalangan mahasiswa lah para konglomerat dan politikus berasal. Bukan dari lulusan STM pengangguran seperti dirinya. Ah, mungkin ilmu ku belum sampai,pikir Sutardi sambil diam-diam menyetujui pendapat Mas Bayu.

‘Ah, aku akan mencontreng hari ini!’ Tekadnya dalam hati seraya bangkit, lalu melipat sajadah dan melepas peci nya. Dan ketika menyentuh peci –yang lebih apek dari sajadahnya itu- Sutardi sekonyong-konyong langsung teringat akan wejangan Ustadznya. Pemilu bukan hanya masalah memilih. Tapi juga tanggung jawab. Tanggung jawab dari calon pemimpin, pemilih, panitia pemilihan, bahkan sampai yang nyinom. Soalnya, semua itu akan dipertanggung jawabkan di akherat nanti. Ketika kita memilih orang yang salah, maka dosa kita akan digabung dengan orang-orang yang ‘salah memilih’, ditambah dosa pemimpin dan antek-anteknya. Kalau Ustadznya mengistilahkan, Dosa Jariyah.

Sinar matahari mulai masuk melalui celah jendela kayu nya, membentuk garis debu tipis. Sutardi makin bingung. Separo dari dirinya menyuruhnya untuk menjadi bagian dari proses pemilihan, untuk menjadikan negaranya lebih baik. Tapi separo yang lain takut akan dosa yang begitu banyak…kalau ternyata ia memilih orang yang salah.

“Uhuk…uhuk…uhuk” Dari dapur, Sutardi mendenar Simboknya batuk. Ia sadar, kalau penyakit batuk ibunya tambah parah. Pak Mantri berkali-kali menyarankan simbok untuk periksa ke puskesmas. Tapi simbok menolak. Katanya, daripada dipakai buat periksa, lebih baik untuk beli beras. Ya ya ya, Ia sadar kalau yang namanya ekonomi itu bisa mengalahkan apa saja.

Apa saja. Termasuk kesehatan diri.

Tiba-tiba Sutardi dapat ide. Daripada ia memilih dan kemungkinan mendapat dosa besar, ia pergi ke pasar. Siapa tahu ia bisa ‘Nguli’ disana. Kan hari ini banyak kuli yang libur. Lumayan buat mbayar periksa simbok. Karena berbakti pada ibu lebih baik daripada memilih orang tak dikenal buat jadi pemimpin.

Jadi, ia lekas mandi, sarapan, lalu pamit pada simbok seraya mengutarakan maksudnya. Sambil terbatuk-batuk simbok tersenyum lebar, mengamini niat anakknya.

Tapi ketika Sutardi membuka pintu, seseorang sudah berdiri didepan pintu rumahnya. Dia adalah Iwan, anak juragan beras Pak Karim, salah satu calon pemimpin.

“Mas, Sutardi,” Sapa Iwan dengan sungkan,”Saya dengar Simbok lagi sakit ya?”

“Iya.” Jawab Sutardi singkat. Ia tidak ingin membuang waktu untuk sampai ke pasar. Takut kedahuluan kuli yang lain.

“Eh, begini mas… ini ada titipan dari bapak buat Mas Sutardi. Siapa tahu bisa membantu periksa Simbok” Lalu Iwan menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Sutardi.

Sutardi membuka amplop itu. Isinya? Lebih dari cukup untuk sekedar periksa ke puskesmas.

“Tapi, Saya minta tolong… nanti kalo mas milih, tolong pilih bapak ya.” Iwan berkata pelan, terus langsung pergi ke sebelah, dan melakukan hal yang sama.

Sutardi melongo. Terpaku didepan pintu rumah nya sendiri.

“Siapa itu tadi le?” Ibu nya memanggil dari dalam?

Sutardi diam. Tak tahu harus berkata apa.

12 april 09
00.38 waktu kompie Program Director

NB: Hahaha, maaf kalo topiknya sudah tidak hangat lagi 🙂

12
Feb
10

Sam & Martha

Sam

Di bawah matahari yang hangat,
Si kecil Sam mengayuh dengan kuat.
Sepedanya melaju hebat,
Bagai orang nekat.

Topi pet dipakai terbalik,
Sambil sekali terkikik,
Tak peduli walau rantai berbunyi Ngik-ngik.
Perasaan Sam sedang baik.

Di lampu merah, dia berhenti.
Melirik jam tangan, ternyata masih pagi.
Tapi dia harus hati-hati,
Karena bisa terlambat nanti.

Hijau menyala, Sam langsung ngebut.
Meninggalkan bising kota yang ribut.
Menuju pedesaan yang lembut,
Melewati kakek penggembala yang manggut-manggut.

Di kejauhan, suara mesin kereta api yang baru datang memekakkan telinga.
Artinya, sebentar lagi, dia sampai di stasiun tua.
Sebuah tempat dimana orang itu menunggunya,
Martha.

Martha

Perempuan kecil ini heran,
Ia terus dilihati oleh orang lalu-lalang yang tidak menyenangkan.
Dan duduk sendiri itu menyebabkan bosan.
Kesimpulannya, menunggu bukanlah suatu pekerjaan.

Karena suntuk, Ia lalu melangkah
Memandangi langit biru yang indah,
Di bawah arsitektur bangunan yang tak begitu megah.
Tersenyum, menunggu pangeran cilik nan gagah.

Tiba-tiba, ayahnya memanggil
Lamunannya tersentil.
Ayahnya memanggil lagi, “Ayo pulang, anak kecil”

Kereta api itu datang tepat waktu.
Suaranya yang keras menggembirakan para penunggu.
Martha tidak berharap seperti itu.
Ia ingin terus menunggu.

Tapi apa daya,
Pak petugas sudah mengangkat tanda.
Jadi, tak ada pilihan lain buat Martha,
Selain memandang keluar jendela, berharap ia ada.

Sam & Martha

Teng-Tong-Teng-Tong-Teng-Tong….

Sam berlari, masuk ke dalam stasiun

Kereta api jurusan Kota Baru akan segera berangkat….

Tangan Sam menyeruak kerumunan.

Para pengantar dimohon segera keluar dari kereta….

Paket yang ia bawa terus ia dekap. Ia tak ingin ada kerusakan sekecil apapun.

Sekali lagi, bagi pengantar mohon segera keluar….

“MARTHA!” Sam berteriak,memanggil seorang gadis didalam kereta.

“Sam!?” Balas permpuan itu. Wajahnya senang sekaligus kaget.

“Ini album fotonya, maaf baru jadi” Kata Sam seraya menyerahkan sebuah album lewat jendela.

“Oh, bagus sekali!” Martha terpana, menggoreskan jemarinya pada sampul album itu, dimana tulisan warna emas tercetak diatasnya: Adi & Martha’s Wedding, “Ya ampun, kenapa harus repot-repot? Kan bisa di paketin…..”

Belum selesai Martha menyelesaikan kalimatnya, kereta mulai berjalan pelan….

“Eh, Sam, uangnya aku transfer ke rekeningmu ya!”

“Siap!” Sam mengacungkan jempolnya.

Martha

Ketika kereta berjalan lebih kencang, Martha membuka jendela lebih luas. Kepalanya tersembul dari situ. Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan, jutaan mungkin.

Tentangnya,
Tentang laki-laki itu,
Juga tentang impian mereka.

Tapi jarak yang semakin jauh membuat lidahnya tidak bisa mengabulkan inginnya.
Sam semakin kecil, semakin jauh dan semakin blur.
Namun bagi Martha, Sam tetaplah seperti dulu. Muda, enerjik, dan menempati satu ruangan hatinya.

“Fotografer yang baik” Suaminya, Adi, yang duduk disamping mengomentari.

“Iya, bagus kan?” Martha memamerkan sampul album itu.

“Kok cuma sampulnya doang sih? Dibuka dong….”

Sam

Di Stasiun, Sam terus memandangi kereta itu sampai kecil.

“Wah, jarang-jarang kamu perhatian ama klien sampai segitunya” Ana, tunangan Sam memanggilnya dari belakang.

Sam mulai menyulut rokok, “Kami pernah berjanji dulu ketemuan disini kira-kira 14 tahun yang lalu, sebelum ia diajak ayahnya pindah ke luar negeri” Ia menghembuskan satu nafas penuh asap, “Tapi sayangnya aku terlambat. Dia tidak pernah terlihat lagi sampai kita dapet job foto dokumentasi pernikahannya”

“C L B K nih?”

“Bukan. Aku cuman nggak mau terlambat lagi kayak dulu. Siapa tahu aku nggak akan ketemu dia lagi.”

“Nah, itu buktinya!” Ana mulai ngambek.

“Hahaha, sudahlah, nggak usah cemburu. Toh dia sudah bersuami kan?” Ia mematikan rokoknya, lalu merangkul Ana, berjalan keluar, “Bagaimana dengan semangkuk mie ayam? Di sekitar sini ada warung mi ayam enak lho”


21 Januari 2010
1:52 PM
Di bawah mendung tipis
Di kamar kos yang damai
🙂

24
Dec
09

Das Sollen – Das Sein

3 tahun yang lalu, dan selama 3 tahun pula, saya dididik dalam sebuah lembaga pendidikan semi formal untuk menjadi seorang broadcaster (penyiar). Tidak hanya siaran doang. Tapi (seingat saya) juga berbagai macam hal yang berhubungan dengan dunia penyiaran itu sendiri, yang pada akhirnya berujung kepada tugas stereotype semua warga negara yang baik.

Membangun masyarakat yang (lebih) baik melalui dunia masing-masing, yang dalam hal ini adalah dunia kepenyiaran: Bagaimana membuat media massa menjadi tempat pembelajaran (tapi tidak menggurui) dan secara persuasif ‘mendampingi’ masyarakat dalam segala perubahannya untuk tumbuh menjadi lebih baik. Setidaknya seperti itulah seorang broadcaster yang baik, menurut saya.

Nah, tadi siang, teori saya tadi dipatahkan oleh teman saya… *PRAK!

teman saya yang lebih muda ini sekarang sedang menjalani perannya sebagai mahasisw sekaligus seorang PNS yang begerak dibidang kepenyiaran. Dia menceritakan dengan gamblang bagaimana kantornya ‘bekerja’.

Katanya, dengan hanya siaran sekali seminggu, dia bisa mendapatkan UMR (Itu gaji bersihnya, jangan tanya yang lain…..). Waktunya pun terserah (kebetulan teman saya ini memegang acara ‘anak muda’ — entah acara apa yang dimaksud, saya juga kurang mengerti), kalo lagi mood masuk pagi, ya silahkan masuk pagi. Kalo lagi mood masuk siang, ya <i?monggo. Konten siaran yang cuma itu-itu saja? Nggak masalah. Mau diubah sesuka hati? Silahkan.

“Lho, kok gitu? Emang nggak ada evaluasi?” tanya saya, dan dia menggeleng ringan.

“Walah, kalo cuman gitu, nanti nggak ada yang ndengerin?” teman saya cuman tersenyum.

“Pernah diadain survey?” dan sekali lagi dia menggeleng.

Akhirnya dia angkat bicara, “Kamu tidak perlu siaran yang bagus – bagus. Tinggal dateng — dan terserah kamu mau dateng jam berapa, pokoknya dateng saja — trus siaran deh. Tinggal cuap-cuap, puter lagu, dan jangan lupa puter iklan tapi, hehehe. Oiya, diruang siar juga banyak makanan kok. Jadi bisa siaran sambil ngemil deh….”

Fukk It!!!

***

Sewaktu kami pulang, di tempat parkir, kami melihat seorang bapak-bapak berseragam PNS dengan plastik berlogo toko tergantung ditangan nya sedang mengeluarkan sepeda motor. Selama beberapa detik saya, dan teman saya memandangi pemandangan itu.

“Jam berapa to, ini?” Tanya saya.
“yang jelas sudah lepas dari jam makan siang” Jawab teman saya.
“Tanggal berapa sih ini?”
“Tanggal muda!”

Dan teman saya itu pun mengeluarkan quote yang mungkin tidak akan saya lupakan seumur hidup:

“Sadar atau tidak, sebagian dari gaji hasil jerih payahmu, dan segala macam pajak yang kamu bayarkan rutin setiap bulan, akan masuk kedalam kantong kami”

Solo, 2 November 09
Di sebuah tempat perbelanjaan yang ramai…

***

Terlepas dari semua pengalaman buruk saya tentang PNS (sampai hari ini), dalam lubuk hati yang paling dalam, saya percaya bahwa masih ada orang-orang idealis yang berjuang untuk amanah yang berada di pundak mereka.

Kalimat pertama yang diucapkan Umar Bin Khotob saat beliau diangkat jadi Khalifah bukanlah Alhamdulillah, melainkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un…karena beliau sadar bahwa Khalifah bukanlah jabatan, tapi amanah.

-Zainuddin MZ-

Tulisan ini telah diedit sedemikian rupa, tanpa mengurangi konten asli nya 😉

24
Dec
09

Semangkuk Sayur Hangat dari Ibu

Di siang hari yang panas itu, Mayang berjalan dengan cepat. Perpaduan antara ranselnya yang besar dan berat serta tubuh gembulnya yang terbalut seragam putih – abu-abu itu membuatnya terkesan seperti berlari tergopoh-gopoh. Tapi ia tidak peduli. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah pulang ke rumah dan menyingkir dari suhu jalanan yang panasnya tak karuan akhir-akhir ini. Bayangan air dingin yang segar dari kulkas dan nasi sayur hangat buatan ibu nya menjadi motivasi tambahan mayang untuk segera pulang.

Sesampai di teras, mayang langsung masuk begitu saja. Tanpa mengetuk pintu, tanpa melepas sepatu di luar. Suhu udara yang panas telah menjadikannya pelanggar hukum tak tertulis di rumahnya sendiri. Lagian, bukannya peraturan itu dibuat untuk dilanggar?

“Ibuuu…!” mayang berteriak sembari melintasi ruangan. Tak ada jawaban. Tapi suara ketukan pisau metal dan kayu yang bertempo tetap menandakan bahwa ada seseorang di dapur. Ibunya, mungkin.

Mayang segera berlari ke dapur. Dan memang benar, ada ibunya di sana, ditengah kepulan asap sayur, berdiri membelakangi mayang, sedang memotong sayuran.

“Ibu masak apa? Masih lama nggak?” Mayang bertanya, tapi ibunya tidak bergeming. Ia tetap saja memotong sayuran dengan pelan dan tenang. Mungkin ibu sedang marah karena ia tidak mengetuk pintu dan melepas sepatu di luar, pikir mayang. “Iya deh, maafin mayang. Tadi mayang nggak mengetuk pintu dan ngelepas sepatu di luar”

Tetap tidak ada jawaban.

“Tapi tadi panas banget bu…”
“Ya sudah, nggak apa-apa. Sana, kamu masuk dulu.sebentar lagi masakannya mateng” Akhirnya ibunya menjawab.
“Ah, terimakasih! Ibu baik deh” mayang mendekat, lalu memeluk dan mencium pipi ibunya dari belakang, “ Lho, badan ibu kok dingin banget? Ibu sakit ya?”
“Cuman lelah sedikit kok. Nanti selesai masak ibu mau istirahat”
“OK mum! Mayang tunggu di dalam ya!”

Setelah membuka kulkas dan mengeluarkan sebuah botol berisi air putih, mayang meninggalkan ibunya di dapur.

***

Jarum jam diding baru menunjuk angka 3 sore, tapi koridor rumah sakit itu sudah jarang dilewati orang. Hanya seorang perempuan muda yang dari pagi tadi duduk di bangku panjang yang berada di tempat itu. Wajahnya kuyu, rambutnya kacau. Sesekali wajahnya menegadah, tapi lebih banyak tertunduk. Tenggelam di dalam tangkupan telapak tangannya.

‘Sialan! Seharusnya aku tidak mabuk… seharusnya aku membiarkan si Eko yang nganter pulang ke rumah… seharusnya aku lebih hati-hati…. Seharusnya…. Ah, anjing!’ Perempuan itu mengumpat dalam hati sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah dilakukannya entah berapa kali.

Pintu di dekat perempuan itu akhirnya terbuka. Dari dalam, muncul seorang laki-laki paruh baya berjas putih. Dengan lembut orang itu menghampiri si perempuan, lalu duduk di sebelahnya. Si perempaun menoleh, menatap mata laki-laki itu penuh arti. Dan si laki-laki membalasnya dengan tepukan lembut di pundak si perempuan.

“Maaf…”, Kata laki-laki itu dengan pelan.

***

‘Tok-tok-tok….’
‘Tok-tok-tok….’
‘Tok-tok-tok….’

Mayang terhenyak, kembali ke dunia fana setelah cekikikan melihat acara favoritnya di TV. Sudah tiga kali pintu rumahnya diketuk, tapi ibunya belum membukakan pintu. Aneh, pikir mayang. Biasanya bila pintu depan diketuk, ibunya lah yang langsung meluncur, membukakan pintu. Tapi hari ini, hingga ketukan ketiga, bahkan ibunya suara ibunya belum ia dengar. Jadi, nampaknya mayanglah yang harus membukakan pintu.

Di luar, mayang mendapati dua orang teman sekelasnya, Amanda dan Martha. Mereka berdua terlihat cemas.

“Wah, tumben siang-siang maen? Ada apa nih?” Tanya mayang, “Ayo, masuk dulu”
“Mayang!” Amanda langsung memeluknya dengan erat.
“May, please jangan sedih ya” sahut Martha.
“Heh, ada apa sih?”
“May, kita tadi dapet laporan dari ayahku yang lagi jaga di rumah sakit…”
“Laporan apa?”
“Eee….. tadi pagi ibu mu kecelakaan waktu pulang dari pasar. Ibumu… meninggal di rumah sakit”
“Halah, kalian ini bilang apa sih? Ya nggak mungkin lah. Ibuku tuh sekarang lagi masak di da…pu…r”

Mayang sadar. Ada yang aneh dengan ibu nya hari ini.

Dengan cepat, ia langsung berlari ke dalam. “IBUUU! IBUUU!” sembari berteriak, mayang menyisir seluruh ruangan.

Ruang tamu, kosong.
Ruang makan, kosong.
Dapur, kosong
Kamar tidur, kosong
Kamar mandi, kosong.

Kosong

Mayang sadar ada sesuatu. Ada yang salah. Ada yang terlewat…
Masalahnya, dia sedang tidak ingin percaya pada apa yang baru saja disadarinya.

Dan di atas meja dapur, semangkuk besar sayur hangat tersaji rapi.

24
Dec
09

Bangkok dangerous (Review)

Didorong oleh rasa suntuk yang menghimpit dari berbagai arah, akhirnya pagi tadi saya menuju rental film untuk ‘beristirahat’ beberapa jam ~ juga untuk merayakan (not too long) weekend. Dan inilah DVD yang saya ambil (setelah kecewa Dragon Ball: Evolution ~yang katanya jelek~ itu keluar)

Bangkok Dangerous (2008)

Bangkok dangerous adalah sebuah film klise-klasik tentang seorang pembunuh bayaran (mungkin bisa disandingkan dengan ‘Hitman’ dengan pendekatan yang lebih manusiawi). Joe, adalah laki-laki pembunuh bayaran berdarah dingin yang selalu sukses beraksi tanpa jejak dimanapun lokasinya dan siapapun targetnya. Di dalam menjalankan tugasnya, Joe selalu patuh pada aturan yang diajarkan oleh gurunya (siapa? Semoga saja bukan Frank Castle).

1. Jangan Bertanya
2. Jangan terlibat dengan orang diluar pekerjaan
3. Hapuskan semua jejak
4. Tahu kapan harus berhenti
(Kok saya jadi teringat film ‘Transporter’ ya?)

Setelah menjalankan misinya dengan baik di Praha, kini Joe di sewa oleh Surat, seorang mafia (atau apalah namanya) di bangkok untuk membunuh empat orang yang menjadi rivalnya. Karena tidak mengerti bahasa setempat, Joe memutuskan untuk menyewa Kong. Seorang tourist guide-pencopet-germo kecil2an-penjual jam rolex tiruan, yang bisa bahasa inggris untuk jadi translator sekaligus penghubungnya dengan Surat.

Awalnya, hubungan Joe dan Kong terjalin dengan dingin dan kaku. Tapi bisa ditebak, seiring jalannya cerita, hubungan mereka menjadi hangat. Bahkan kemudian Joe menganggap Kong adalah muridnya. ‘Pengikisan’ hati Joe yang dingin juga digambarkan dalam kisah cinta nya. Setelah mendapatkan luka (gores) usai membunuh target pertama, Joe mencari obat di apotek. Di sana ia bertemu dengan Fon, perempuan bisu-tuli penjaga apotek. Terpesona dengan kecantikan dan kelembutan sentuhan pada luka goresnya, Joe mulai jatuh hati pada komunikasi pertama (mereka berkomunikasi dengan bahasa tarzan, yang satu nggak bisa bahasa lokal, yang satu….bahkan mendengarpun tidak bisa).

Alur cerita mulai ruwet ketika Joe diperintahkan untuk menghabisi ‘target yang salah’. Saat kata hatinya memberontak dan menolak tugas tersebut. Surat yang merasa dipermainkan, menculik Kong dan kekasihnya, serta mencoba untuk membunuh Joe. Akhirnya bisa ditebak. Joe berbalik menyerang Surat sekaligus menyelamatkan Kong dan kekasihnya dalam baku tembak khas 90an.

Di film ini, mas Nico berhasil membawakan perannya sebagai pembunuh berdarah dingin dengan baik. Tapi saat scene pdkt dengan Fon, karakternya berubah 180 derajat menjadi laki-laki hangat ~yang menyebabkan karakternya jadi wagu~.

Menonton film ini sekilas akan langsung menyadarkan kita kalau ini bukan pure Hollywood. Adegan baku tembak (hanya) dengan pistol, tanpa gadget canggih, tanpa keterlibatan FBI/CIA atau agen–agen khas amrik, dan (not too) sad ending adalah beberapa contohnya. Dan sebagai film ‘bukan pure hollywood’, cerita adalah senjata utamanya. Seorang pembunuh profesional berdarah dingin yang hatinya melunak setelah menemukan cinta sejati dan melanggar aturannya sendiri lalu akhirnya berbalik menyerang tuannya dengan banyak bumbu klise, bukankah itu (cukup) menghibur?

Note: saya menulis review ini tanpa melihat film asli nya. Jadi saya anggap ini adalah film lepas, bukan remake dari sebuah film asia berjudul sama.

Bangkok Dangerous

Directors:
Oxide Pang Chun
Danny Pang

Cast:
Nicolas Cage as Joe
Shahkrit Yamnarm as Kong
Charlie Yeung as Fon

Kos2an, 24 Des 09
3:31 PM

26
Oct
09

Sebuah cerita sederhana dari sebuah rumah sederhana di sebuah tepi jalan sederhana

Impian itu bisa datang dari mana saja.
Ya, dari mana saja.
Dan kali ini, impian itu datang dari sebuah rumah sederhana.

Sebuah rumah sederhana di tepi jalan sederhana.

Kau tahu, hari ini kamu cantik sekali dalam gaun putih mu.
Walaupun badanmu sedikit melar (hahaha…!!!), tapi itu tidak berpengaruh (banyak) kok, tenang saja
Dan Mas mu yang tinggi tegap itu pun nampak gagah di dalam balutan jas hitam sederhana.

Ah… aku jadi teringat ketika kita berdua ngobrol ditepi jalan itu.
Tentang impian-impian,
Tentang jalan masuk universitas yang dipenuhi pejalan kaki dan sepeda-sepeda,
Tentang brosur-brosur dari seberang lautan.

Kapan ya, percakapan itu?
Rasanya baru kemarin sore….
Sial. Rasanya singkat sekali ya…. 🙂

Nah… dan hari ini kamu telah menyelesaikan ijabmu.
Jadi, sudah cukup melodrama nya.

Now, its show time.

Buatlah keluarga mu, keluarga mu, teman-teman mu, dirimu sendiri, dan laki-laki disampingmu itu bahagia.
Lahirkan anak-anak yang hebat,
Untuk dirimu, untuk suamimu, untuk keluargamu, untuk kami, untukku.

Dan aku?
Aku akan mewujudkan impian-impian itu.
Impian-impian yang kita bicarakan waktu itu.

Jadi,
Selamat,
Selamat,
Selamat,
Untuk lembaran yang baru dari pagi yang sederhana ini 🙂

Dedicated to:
Rr. Wedha Hestiningrum, Amd & Bg. Rahmad Bayu Ariadi, SE.
Sabtu, 10 Oktober 2009
09:23 AM
Karangmalang, Sragen




April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Categories

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 2 other subscribers